Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang
Jakarta) dengan ibunya pada tahun
1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan
puisi pertamanya pada tahun
1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang
Jakarta) di mana ia berkenalan dengan dunia
sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya.
[5] Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai
bahasa asing seperti
Inggris,
Belanda, dan
Jerman.
[6] Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti:
Rainer Maria Rilke,
W.H. Auden,
Archibald MacLeish,
Hendrik Marsman,
J. Slaurhoff, dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan
kesusasteraan Indonesia.
Puisi
Aku yang dipajang di tembok di
Leiden
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul
Nisan pada tahun
1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.
[6] Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.
[6] Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah
Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat
Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa
pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun
1945.
[6][7] Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada
6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.
Makam Chairil di TPU Karet Bivak
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo),
Jakarta pada tanggal
28 April1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit
TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di
Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
[8] Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena
tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku..." Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang
Republikantermuka.
[9] Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai
Hari Chairil Anwar. Kritikus
sastra Indonesia asal
Belanda,
A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul
Jang Terampas Dan Jang Putus".
[3]
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul
Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun
1949,
[4] sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul
Aku dan
Krawang Bekasi.
[5] Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga
buku yang diterbitkan oleh
Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul
Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh
Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus(1949), dan
Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan
Asrul Sani dan
Rivai Apin).
Sampul Buku "Deru Campur Debu"
- "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)
- "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
- Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
- "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
- The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
- The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
- Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
- The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
- Dalam Kumpulan "Poeti Indonezii" (Penyair-Penyair Indonesia). Terjemahan oleh S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, № 4, hlm. 3-5; 1960, № 2, hlm. 39-42.
- Dalam Kumpulan "Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov" (Suara Tiga Ribu Pulau). Terjemahan oleh Sergei Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.
- Dalam kumpulan "Pokoryat Vishinu" (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair Malaysia dan Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C, 2009, hlm. 87-89.
- Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
- Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
- Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
- S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
- Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
- Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
- H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
- Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
- Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
- Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
- Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
- Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
- Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006).